Laman

Selasa, 06 November 2012

PERCAYA KEPADA TUHAN

 FILOSOFI HIDUP

Awal kecemasan adalah akhir dari iman. Orang yang cemas dan takut adalah orang yang tidak percaya akan perlindungan Tuhan


LELUCON

 Arti Kentut Menurut Guru Sekolah

Guru Matematika: "Sesuatu yang tidak bisa dikali namun baunya bisa dibagi-bagi..."
Guru Kesenian: "Bunyi nadanya terletak pada kunci K."
Guru Fisika: "Inilah yang di sebut inner power, tenaga yang di gunakan kecil namun hasilnya luar biasa."
Guru Biologi: "Inilah ciri makhluk hidup melanjutkan hidupnya."
Guru Agama: "Ini salah satu penyebab batalnya wudhu dan shalat."
Guru Geografi: "Posisi keberadaannya mengikuti arah mata angin."
Guru Sosiolog: "Perilaku menyimpang pada sikap manusia."
Guru Sejarah: "Salah satu penyebab terjadinya perang mulut..."
Guru Bahasa: "Kalimat bisa di tulis namun aromanya tak bisa di ungkapkan dengan kata-kata..."
Kepala Sekolah: "Saya yang kentut! Kenapa..??!! Masalah buat Kalian ??!!!"


TIPITAKA

Kisah Bhikkhu Kokalika

Bhikkhu Kokalika telah berkata kasar dan kejam kepada dua murid utama Sang Buddha, Sariputta dan Maha Mogallana. Oleh karena perbuatan buruknya itu Kokalika terkena musibah dan meninggal dunia, lahir kembali di alam Neraka Paduma. Mengetahui kejadian itu, para bhikkhu mengatakan bahwa Kokalika telah mengalami penderitaan di alam neraka karena ia tidak bia mengendalikan lidahnya.

Kepada para bhikkhu tersebut, Sang Buddha berkata : “Para bhikkhu, seorang bhikkhu hendaknya berusaha mengendalikan lidahnya; tingkah-lakunya harus baik; pikirannya harus tenang, bisa dikendalikan, dan tidak mengejar objek-objek yang menyenangkan.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 363 berikut :

Seorang bhikkhu yang mengendalikan lidahnya,
yang berbicara dengan bijaksana dan tidak sombong,
yang dapat menerangkan Dhamma beserta artinya,
maka akan kedengaran indah ucapannya.


VEGETARIAN

 Etika tak terbatas

“Hidup bagi saya sungguh berarti. Demikian pula kehidupan di sekeliling saya. Jika saya mengharapkan hidup saya dihormati, maka saya juga harus menghormati hidup makhluk lainnya. Namun etika di dunia Barat hanya menghormati hubungan di antara sesama manusia. Karena itu saya katakana etika Barat adalah etika yang terbatas. Yang kita perlukan adalah etika tak terbatas yang juga mencakup hubungan kita dengan binatang” (Albert Schweitzer, 1875-1965)

Siang ini, saat akan pulang ke Yogyakarta ketika keluar dari halaman puskesmas, di sebelah barat halaman ada 2 orang pria sedang menembaki burung. Saya bertanya pada bu Narsih, “Mengapa burung-burung itu ditembaki Bu?” “Nggo senang-senang tur Nggo pakan ikan,”jawab bu Narsih. Ingin sekali saya mendekati dua orang itu, tapi bu Narsih udah keburu bablas, saya nebeng dia sampai Pakis. Rasa tak enak masih mengganjal hati saya. Sesampai di rumah, saya melihat majalah yang ditinggalkan oleh teman saya Chaiyen. Iseng saya buka bagian yang dibacanya semalam. Ya ampun, ada cuplikan kisah masa kecil Albert Schweitzer, paaas banget dengan ganjalan rasa di hati saya saat itu.

‘Thou shalt not kill’
Albert Schweitzer(1875-1965) adalah filsuf penganjur’Reverence for Life’, sebuah panggilan untuk menghormati, memuliakan semua makhluk tanpa terbatas. Beliau juga seorang dokter dan ahli teologi kelahiran Jerman.
Suatu hari di saat usianya masih delapan tahun, temannya Heinrich mengajak Albert keluar untuk menembak burung dengan katapel. Albert kecil meski merasa ide ini mengerikan tetapi tidak berani menolaknya karena takut ditertawakan.
Albert menuturkan,”Kami mendekati sebatang pohon yang sudah tidak berdaun. Burung-burung yg bertengger disana terus bernyanyi dengan manisnya di pagi hari itu. Mereka tampaknya tak takut terhadap kami. Berjongkok seperti pemburu Indian, temanku mengambil sebuah kerikil dan menarik karet katapel. Tatapannya penuh perintah membuatku mengikuti gerakannya.Tetapi pada saat itu hati nuraniku merasa tertusuk dan aku bersumpah untuk tak mengarahkan kerikilku kepada mereka. Pada momen yang kritis inilah lonceng gereja berdentang memenuhi hamparan cahaya matahari, bersama-sama dengan suara burung-burung yang sedang bernyanyi.’Albert terkejut ketika lonceng berdentang dari kejauhan. Baginya itu adalah’a voice from heaven’ suara surga. Albert pun segera meletakkan katapelnya dan berteriak mengusir burung-burung itu pergi agar tak menjadi sasaran katapel temannya. Setelah itu Albert sendiri berlari pulang.

Mengenang kejadian di masa kecilnya, Albert menulis,”Sejak itulah ketika lonceng Paskah berbunyi di dalam hamparan cahaya matahari dan pohon-pohon yang tak lagi berdaun, aku akan ingat,dengan hati yang sangat tersentuh dan berterima kasih, sebab sejak hari itulah berbunyi dalam hatiku perintah ‘Thou shalt not kill’, janganlah membunuh.’ Albert Schweitzer menyampaikan di Auditorium Universitas Oslo setahun setelah beliau memperoleh penghargaan Nobel perdamaian 1954. “Semua manusia..mampu berbelas kasih..spirit itu ada dalam diri manusia seperti terang yang siap menyala, menunggu hanya setitik percikan api”

Adanya jiwa belas kasih yang asali dalam setiap diri manusia, universal,tak terkecuali, tak terbatas.
Saya berharap dua pria yang saya temui siang tadi, suatu ketika, setitik api belas kasih itu memercik dalam ruang hatinya. Mendengarkan keberatan suara nuraninya, bahwa hidup sungguh punya harga, meski hanya seekor burung kecil, siapakah kita hingga layak merampas hidup mereka. Hidup yang mengalir dalam diri tiap makhluk membawa visi kemuliaan-Nya, hingga hanya Sang Pemberi hiduplah yang layak mengambil hidup itu kembali. Bahagia yang di damba tidak datang gratis tanpa memberi bahagia itu sendiri pada makhluk lain.

“Semua binatang adalah pahatan sakral yang hidup. Kelebat lari anjing, dan hati-hati langkah kucing, elang, kerbau dan segala yang menghembuskan nafas sungguh memiliki makna. Bagi mata yang melihat lebih dari panggung bentuk; kita bersama dicipta dalam cinta dan dicintai, demikianlah dia yang memikirkan hingga makhluk dunia dibawahnya adalah dia yang memenangkan dunia dengan cintanya” (Philip Bailey, 1816-1902)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar