Laman

Selasa, 26 April 2011

Antara Kekayaan dan Nafsu

FILOSOFI HIDUP

Jika engkau ingin membuat seseorang berbahagia, jangan tambah kekayaannya, tapi buang saja nafsunya


LELUCON

Berpose Alami

Saat itu hari wisuda dan Ibu mencoba mengambil foto anaknya dengan topi wisudanya, berpose dengan ayahnya.

"Mari kita coba untuk membuat tampilan ini alami," katanya. "Junior, taruh lenganmu di bahu ayahmu."

Sang ayah menjawab, "Jika ingin terlihat alami, mengapa tidak menyuruh dia meletakkan tangannya di dompetku?"


TIPITAKA

Kisah Samanera Sanu

Suatu hari, Samanera Sanu didesak oleh para bhikkhu yang lebih tua untuk naik ke atas mimbar dan mengulang bagian-bagian dari Dhamma yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha. Ketika ia telah menyelesaikan pengulangannya, ia dengan sungguh-sungguh menyebut, “Semoga jasa-jasa yang telah saya peroleh hari ini dengan mengulang syair-syair mulia ini, dinikmati oleh ibu dan ayah saya”.

Saat itu, dewa-dewa dan raksasa yang pernah menjadi ibu samanera muda ini dalam kehidupan lampaunya turut mendengarkan pengulangannya. Ketika mereka mendengar kata-kata itu, raksasa tersebut sangat gembira dan dengan cepat berteriak, “Putraku sayang, betapa bahagianya saya dapat ikut menikmati jasamu; kau telah melakukannya dengan baik putraku. Sangat baik! Sangat baik! (Sadhu! Sadhu).” Karena jasa Samanera Sanu, dewa dan raksasa yang pernah menjadi ibunya menjadi sangat dihormati dan diberi tempat yang utama dalam perkumpulan mereka oleh para dewa dan raksasa lainnya.

Saat samanera tersebut tumbuh menjadi lebih tua, ia ingin kembali pada kehidupan sebagai umat biasa; ia pergi ke rumahnya dan meminta pakaiannya dari ibunya. Ibunya tidak ingin ia meninggalkan Sangha dan mencoba agar ia tidak melakukan hal itu, tetapi ia tetap teguh dengan keputusannya. Untuk mengulur waktu, ibunya menjanjikan untuk memberinya pakaian setelah bersantap makanan. Saat ibunya sedang sibuk memasak makanannya, raksasa yang pernah menjadi ibunya dalam suatu kehidupan yang lampau berpikir, “Jika putraku, Sanu meninggalkan Sangha, saya akan malu dan menjadi tertawaan di antara raksasa dan dewa yang lain. Saya harus mencoba dan menghentikannya agar tidak meninggalkan Sangha.”

Kemudian samanera muda dirasuki oleh raksasa tersebut. Anak laki-laki itu berguling-guling di lantai, berkomat-kamit tidak keruan dengan air liur berleleran dari mulutnya. Sang ibu merasa ada bahaya; tetangga berdatangan dan mencoba untuk mengusir makhluk halus tersebut. Kemudian, raksasa itu berbicara, “Samanera ini ingin meninggalkan Sangha dan kembali pada kehidupan umat awam; jika ia berbuat demikian maka ia tidak akan dapat lepas dari dukkha.” Setelah mengucapkan kata-kata ini, raksasa tersebut meninggalkan tubuh anak laki-laki tersebut dan anak tersebut menjadi normal kembali.

Melihat ibunya menangis dan para tetangga berkumpul di sekitarnya, ia bertanya apa yang telah terjadi. Ibunya menceritakan pada mereka, semua yang telah terjadi pada samanera muda anaknya dan juga menjelaskan pada mereka bahwa untuk kembali pada kehidupan umat awam setelah meninggalkan Sangha adalah sangat bodoh. Sesungguhnya, meskipun hidup, ia seperti orang mati.

Samanera tersebut kemudian menyadari kesalahannya. Dengan membawa tiga jubah dari ibunya, ia kembali ke vihara dan segera diterima sebagai seorang bhikkhu.

Ketika berkata tentang Samanera Sanu, Sang Buddha yang berharap untuk mengajar tentang latihan batin berkata, “Anakku, seseorang yang tidak mengendalikan pikirannya, yang mengembara ke mana-mana, tidak dapat menemukan kebahagiaan. Karena itu, kendalikanlah pikiranmu seperti seorang pelatih gajah mengendalikan seekor gajah.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 326 berikut :

Dahulu pikiran ini mengembara,
pergi kepada objek-objek yang disukai, dingini,
dan ke mana yang dikehendaki.
Sekarang aku akan mengendalikannya
dengan penuh perhatian,
seperti penjinak gajah mengendalikan gajah
dengan kaitan besi.

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, bhikkhu Sanu memahami ‘Empat kebenaran Mulia’. kemudian ia mencapai tingkat kesucian arahat.


VEGETARIAN

Kafka dan Natalie Portman Juga Vegetarian

“Eating industrial meat takes a heroic act of not knowing or forgetting” Michael Pollan, 2006

Lebih banyak album musik yang mengubah hidup saya ketimbang buku. Namun jika ada satu dari sedikit buku yang telah bisa mengubah hidup saya, buku itu adalah Eating Animals karya penulis Yahudi Amerika Jonathan Safran Foer—yang buku larisnya Everything Is Illuminated telah digubah oleh Hollywood menjadi sebuah film dengan judul yang sama.

Jika Karl Marx sudah banyak mengubah orang menjadi komunis, Jonathan Safran Foer membuat saya mengikuti ideologi vegetarianisme—dan saya adalah orang yang tidak suka dengan ideologi dan dogma.

Belajar ideologi dari Foer (baca seperti Meier) bukanlah pekerjaan yang sulit. Dan jika anda pengikut Kafka dan Derrida, menjadi vegetarian adalah aktivisme yang penuh pikir. Setahu saya hanya Safran Foer yang mengutip Franz Kafka dan Jacques Derrida untuk mendukung argumen tentang betapa masuk akalnya menjadi vegetarian.

Dalam buku Eating Animals ini, Safran Foer mencari akar vegetarianisme modern jauh sampai ke karya-karya klasik dua penulis besar dunia tersebut. Di halaman 36, segera setelah kata pengantar yang panjang, Safran Foer memasukkan kutipan mencekam dari Max Brod—penjaga warisan literatur Kafka—tentang saat di mana Kafka sekejap berubah menjadi vegetarian:

“Sekarang paling tidak aku bisa melihatmu dengan tenang, Aku tidak akan memakanmu lagi. Saat itu adalah saat di mana Kafka berubah menjadi vegetarian yang taat,” kata Brod, mengutip Kafka, setelah memandang terlalu lama sebuah ikan di sebuah akuarium di Kebun Binatang Berlin.

Di balik pernyataan sederhana ini terdapat sebuah pertanyaan etis yang sangat sulit bahwa ketika kita memakan binatang, kita pada kenyataan telah meninggalkan sifat asli kita sebagai bagian dari alam. Dalam ikan, Kafka bisa melihat bagian dari diri kita sendiri—syaraf, penerima rasa sakit, endorphins (penghilang rasa sakit) serta semua sarana perespons rasa sakit—dan dengan memakan mereka, kita dengan sendirinya telah menolak bagian penting dari kemanusiaan kita.

Kita tahu bahwa pernyataan tersebut begitu penting karena datang dari seorang yang karya terbesarnya Metamorphosis, ditulis tahun 1915, adalah kisah tentang Gregor Samsa yang bangun pagi dan menemukan dirinya telah berubah menjadi serangga besar.

Dari Derrida, Safran Foer mengutip bahwa mereka yang mengkonsumsi daging binatang tidak hanya melanggar hak hidup binatang namun juga menolak untuk menghargai sentimen rasa kasihan (pity) dan kasih sayang (compassion).

Namun mengutip pujangga besar serta persoalan etis mereka ketika memakan daging tidak cukup untuk membuat orang berubah menjadi vegan.

Kekuatan persuasi Eating Animals terletak pada data dan fakta yang dikumpulkan secara tekun oleh Safran Foer dari riset lapangan, investigasi, ratusan wawancara dengan peternak dan eksekutif perusahaan peternakan raksasa, juga data yang dikumpulkan dari pemerintah, industri dan lembaga pengawas swadaya masyarakat.

Dan semua kerja keras itu hanya untuk menunjukkan bahwa ketika kita makan daging serta produk turunannya, dosa terbesar yang kita lakukan adalah melakukan pembiaran terhadap kekejaman atas binatang—argumen lama memang, tapi disinilah kekuatan persuasi Foer bermain.

Penelitian ilmiah mungkin gagal untuk menjelaskan seperti apa tepatnya bentuk penderitaan bagi binatang, ketika mereka dijejalkan ke dalam kandang industri atau ketika mereka digiring ke pemotongan hewan. Namun ada satu keniscayaan—yang diturunkan dari dalil Kafka di atas—bahwa binatang bisa merasakan rasa sakit, dan debat tentang seberapa sakit menjadi tidak penting, ketika anda melihat pandangan mata terakhir binatang-binatang tersebut ketika dikirim ke rumah jagal.

Pandangan mata penuh ketakutan ini adalah justru hanyalah puncak dari parade penderitaan tak berujung yang harus mereka alami untuk membawa steak, sushi, atau sayap goreng ke meja makan kita.

Penderitaan itu misalnya ada di peternakan yang dikunjungi oleh Foer—secara menyamar— di mana 33 ribu unggas dijejalkan ke dalam sebuah kandang berukuran 12 x 150 meter. “Anda tidak harus melihatnya sendiri atau bahkan menghitung luasnya untuk mengerti bahwa betapa berjejalnya mereka,” Foer menulis.

Ada deskripsi lain yang pasti bisa segera membunuh selera makan anda. Foer menulis bahwa rekayasa genetis memungkinkan ayam untuk menumbuhkan daging dan lemak secara lebih cepat dibandingkan kecepatan tumbuh tulang, dan ini pada akhirnya berujung kepada kecacatan dan penyakit.

“Terlalu banyak cairan membuat tubuh unggas penuh lubang busuk, serta pembengkakan dan ini telah membunuh kurang lebih 5 persen dari jumlah unggas dunia. Tiga dari empat unggas akan mengalami cacat berjalan dan akal sehat tentu akan mengatakan bahwa mereka pasti menderita sakit yang kronis,” tulis Foer.

Namun bentuk kekejaman yang paling jahat justru datang dari pekerja peternakan. Dari investigasinya terhadap supplier untuk Kentucky Fried Chicken (KFC) and Tyson Foods, dua terbesar pemilik industri peternakan di Amerika Serikat, ayam-ayam hidup ditendang, diinjak, dipukul ke tembok, diludahi dengan sisa tembakau, dipotong patuknya serta dipaksa mengeluarkan kotoran,”

Binatang lain juga tidak bernasib lebih baik.

Babi-babi yang dibesarkan dalam peternakan industri—buku ini ditulis dalam konteks masyarakat Amerika Serikat dan Foer adalah Yahudi jadi tidak memakan daging babi—dipaksa hidup dalam kubangan secara berjejal di mana mereka mengalami lemah tulang, infeksi saluran pengeluaran, masalah jantung dan turunnya massa otot yang begitu parah sehingga membuat mereka sulit bahkan hanya untuk berbaring, demikian tulis Foer dalam bab yang berjudul “Slices of Paradise/Pieces of S*#t.”

Studi lain menunjukkan bahwa warisan genetika yang buruk, keterbatasan bergerak (karena ruangan terbatas) dan gizi buruk membuat antara 10 sampai 40 persen babi ini menjadi cacat, lutut yang bengkok, kaki pincang…dan beberapa bayi babi mengalami kecacatan seperti guwing, kelamin ganda, puting terbalik, tidak memiliki anus, tremor serta hernia, Foer menuliskan ini di halaman 186.

Dan untuk membuat hidup binatang ini menjadi semakin menderita, jutaan kilogram antibiotik harus disuntikkan sehingga membuat mereka bisa bertahan hidup dalam kondisi yang mengenaskan, semata-mata karena mereka tidak bisa lagi bertahan dalam lingkungan yang penuh penyakit tersebut.

“Setiap tahun di Amerika Serikat, ternak-ternak tersebut diberi makan dengan hampir 12 juta kilogram antibiotika (melebihi jumlah untuk manusia) dan ini adalah data dari industri farmasi…Otoritas departemen kesehatan termasuk Pusat Pengendalian Penyakit telah menyerukan dihentikannya penggunaan antibiotika secara semenan-mena tersebut, namun pada kenyataannya praktek tersebut terus berlanjut,” tulis Foer.

Sebagai akibat dari praktek tersebut kita bisa melihat lahirnya penyakit kebal antibiotika atau disebut juga “superbug” yang tidak hanya membunuh binatang namun juga telah menyebar kepada manusia.

“Sumber utama dari H1N1 swine flu adalah dari sebuah peternakan babi di negara bagian yang dikenal memiliki peternakan babi terbesar North Carolina dan kemudian menyebar ke seluruh daratan Amerika,” Foer menulis di halaman 42.

Dan ketika hidup mereka harus berakhir, binatang-binatang tersebut harus mengalami rasa sakit yang tidak terbayangkan. Ayam-ayam harus dipaksa menghadapi mesin setrum, babi-babi harus diberi aliran listrik dan sapi-sapi harus dipasangi tongkat setrum ke kepala mereka, sebelum disembelih. (dalam beberapa kasus, sapi-sapi tersebut tidak benar-benar mati dan tetap sadar ketika tubuh mereka dikuliti dan di potong-potong).

Foer menyimpulkan bahwa memakan daging pada akhirnya melibatkan sebuah tindakan herois—yang juga sangat Kundera-esque— untuk melupakan atau pura-pura lupa akan kekejaman tersebut. Kutipan dari Michael Pollan di pembuka tulisan ini kurang lebih memiliki makna yang sama belaka.

Siapa yang harus dipersalahkan untuk ini semua?

Sebelum mengarahkan telunjuknya kepada kita, para omnivora pemakan daging, Foer juga menuntut pertanggungjawaban dari perusahaan peternakan raksasa semacam Tyson Food, KFC serta pemilik peternakan babi terbesar di dunia Smithfield, yang tidak hanya mengendalikan supply daging di Amerika Serikat namun juga di seluruh dunia. Dan sebelum perusahaan-perusahaan tersebut bersalah karena telah melakukan penyiksaan masif terhadap binatang, mereka lebih dahulu menjadi tersangka atas kejahatan menciptakan mitos bahwa memakan daging dan mengkonsumsi produk turunan dari hewan (a la Empat Sehat Lima Sempurna) adalah pilihan sehat, sebuah conventional wisdom yang telah ditolak dimana-mana.

Asosiasi Ahli Gizi Amerika Serikat di awal dekade 1990-an telah mengeluarkan laporan yang menyebutkan bahwa menjadi vegetarian adalah strategi yang cocok bagi siapapun, pada usia berapapun, bagi mereka yang hamil, menyusui, kanak-kanak, remaja dan bahkan atlit. Penelitian lain menunjukkan bahwa simpanan protein yang berlebih bisa menjadi sebab bagi osteoporosis, penyakit ginjal, batu ginjal dan kanker.

Dengan deskripsi dan penjelasan di atas, segera setelah membaca buku ini, saya langsung menjadi vegetarian—yang sebenarnya tidak terlalu sulit mengingat saya sendiri tidak terlalu bisa menikmati daging serta produk dari binatang sejak muda. Saya baca terakhir Natalie Portman juga berubah menjadi vegan setelah membaca buku ini.

Saya tidak tahu secara pasti seberapa kejam dan jahat industri peternakan di Indonesia, namun cukup aman untuk mengatakan bahwa kalau untuk urusan profit, perusahaan tersebut akan mau melakukan apa saja untuk menyiksa hewab-hewan itu demi daging, susu dan telur murah yang datang di meja makan kita. Baca buku ini dan steak yang dihidangkan di depan anda tidak akan pernah sama lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar