Laman

Jumat, 28 Oktober 2011

Aku Udara

FILOSOFI HIDUP

Silahkan orang memukul, aku tak terpukul. Silahkan orang melukai, aku tak terluka. Silahkan orang menyakiti, aku tak tersakiti........aku Udara


LELUCON

Menelan Pembuka Kaleng

Seorang ibu panik, lalu menelepon dokter dan berkata,

"Dokter, anak saya menelan pembuka kaleng!"

"Jangan kuatir, Ibu. Anak Anda akan baik-baik saja," kata dokter.

Kata ibu itu, "Tapi masalahnya, bagaimana cara saya membuka kaleng sarden ini, karena minyak di wajan sudah terlanjur panas..."


TIPITAKA

Kisah Seekor Induk Babi Muda

Suatu kesempatan, ketika Sang Buddha sedang berpindapatta di Rajagaha, ia melihat seekor induk babi muda yang kotor dan Beliau tersenyum. Ketika ditanya oleh Ananda, Sang Buddha menjawab, “Ananda, babi ini dulunya adalah seekor ayam betina dimasa Buddha Kakusandha. Karena ia tinggal di dekat ruang makan di suatu vihara, ia biasa mendengar pengulangan teks suci dan khotbah Dhamma. Ketika ia mati, ia dilahirkan kembali sebagai seorang putri.

Suatu ketika, saat pergi ke kakus, sang Putri melihat belatung dan ia menjadi sadar akan sifat yang menjijikkan dari tubuh. Ketika ia meninggal dunia, ia dilahirkan kembali di alam Brahma sebagai brahma puthujjana; tetapi kemudian karena beberapa perbuatan buruknya, ia dilahirkan kembali sebagai babi betina. Ananda ! Lihat, karena perbuatan baik dan perbuatan buruk tidak ada akhir dari lingkaran kehidupan.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 338 sampai dengan 343 berikut ini :

Sebatang pohon yang telah ditebang
masih akan dapat tumbuh dan bersemi lagi
apabila akar-akarnya masih kuat
dan tidak dihancurkan.
Begitu pula selama akar nafsu keinginan tidak dihancurkan,
maka penderitaan akan tumbuh berulang kali.

Apabila tiga puluh enam nafsu keinginan
di dalam diri seseorang mengalir deras
menuju objek-objek yang menyenangkan,
maka gelombang pikiran yang penuh nafsu
akan menyeret orang yang memiliki
pandangan salah seperti itu.

Di mana-mana mengalir arus (=nafsu-nafsu keinginan);
di mana-mana tanaman menjalar tumbuh merambat.
Apabila engkau melihat tanaman menjalar
(=nafsu keinginan) tumbuh tinggi,
maka harus kau potong akar-akarnya
dengan pisau (=kebijaksanaan).

Dalam diri makhluk-makhluk timbul rasa senang mengejar objek-objek indria,
dan mereka menjadi terikat pada keinginan-keinginan indria.
Karena cenderung pada hal-hal yang menyenangkan
dan terus mengejar kenikmatan-kenikmatan indria,
maka mereka menjadi korban kelahiran dan kelapukan.

Makhluk-makhluk yang terikat pada nafsu keinginan,
berlarian kian kemari seperti seekor kelinci yang terjebak.
Karena terikat erat oleh belenggu-belenggu dan ikatan-ikatan,
maka mereka mengalami penderitaan untuk waktu yang lama.

Makhluk-makhluk yang terikat oleh nafsu-nafsu keinginan,
berlarian kian kemari seperti seekor kelinci yang terjebak.
Karena itu seorang bhikkhu yang menginginkan kebebasan diri,
hendaknya ia membuang segala nafsu-nafsu keinginannya.


VEGETARIAN

Hidup Sehat dengan Part-time Vegetarian

Sering mengeluh kesulitan menjalankan diet? Coba saja menjalankannya dengan menjadi vegetarian selama beberapa hari. Tidak hanya berat badan yang perlahan turun, tapi juga metabolisme tubuh menjadi lebih baik. Simak yuk!

Menjalankan diet memanglah tidak semudah yang dibayangkan. Akan ada banyak sekali gangguan yang datang, mulai dari diri sendiri hingga dari lingkungan. Seperti ketika diharuskan mengkonsumsi sayuran selama menjalankan diet, akan sulit rasanya jika hampir setiap hari Anda cenderung mengkonsumsi banyak protein seperti daging merah.

Jika Anda tidak bisa merubah pola makan itu secara langsung, Anda bisa melakukannya dengan menjadi part-time vegetarian. Anda tidak perlu merasa tersiksa karena harus makan sayuran setiap hari. Part-time vegetarian adalah salah satu metode baru yang manfaatnya bisa dirasakan sama seperti mereka yang melakukan full time vegetarian.

Beberapa peneliti di Amerika mencoba mengkampanyekan program part-time vegetarian ini mulai dari kampus, kantor, hingga kafetaria sekolah-sekolah. Part-time vegetarian ini coba dilakukan di hari Senin dan juga Rabu, jadi dalam satu minggu terdapat dua hari tanpa daging yang diterapkan.

"Setelah diterapkan selama beberapa minggu, hasil yang terlihat cukup baik. Tidak hanya dampak kesehatan yang terjadi pada tubuh tapi juga terhadap lingkungan," ujar Kate Geagan, RD, penulis Go Green Get Lean. Nutrisi yang dibutuhkan tubuh lebih seimbang dan lengkap, karena tubuh mendapatkan asupan serat dan juga antioksidan dari buah dan sayuran meskipun hanya dua hari.

Melakukan part-time vegetarian tidaklah sesulit yang dibayangkan, selain itu kandungan serat yang didapat dari sayuran dan buah bisa membuat Anda merasa kenyang. Secara tidak langsung, metabolisme pencernaan yang baik akan membantu Anda mengurangi jumlah kalori yang masuk dan tertinggal di dalam tubuh.

Selasa, 18 Oktober 2011

KEHORMATAN

FILOSOFI HIDUP

Walaupun harta duniawi berharga, nilai mereka bisa dihitung. Tapi kehormatan. Sebaliknya, tak ternilai. Mereka yang bisa mengenalinya akan dapat melakukan hal yang hebat


LELUCON

Macam-Macam Pedagang

Pedagang yang paling setia: tukang bakso, walaupun daganganya habis dia pasti menyisakan 2 bakso untuk istrinya di rumah.

Pedagang yang selalu bohong: tukang roti, bilangnya roti tawar tapi tidak bisa ditawar.

Pedagang yang paling nekat: tukang gas, sudah tahu jalanan menurun masih saja bilang, "gas..gas" bukan "rem..rem.."

Pedagang yang tidak ada kerjaan: tukang nasi goreng, nasi sudah mateng masih saja digoreng.

Pedagang yang tidak pernah menyesal: tukang nasi bubur, nasi sudah jadi bubur tetep saja dijual.


TIPITAKA

Kisah Kapila dan Ikan

Pada masa Buddha Kasapa, ada seorang bhikkhu bernama Kapila yang sangat terpelajar dalam Kitab Suci (Pitaka). Karena sangat terpelajarnya, ia memperoleh kemasyuran dan keberuntungan. Ia juga menjadi sangat sombong dan memandang rendah bhikkhu-bhikkhu lain. Bila para bhikkhu lain menunjukkan padanya apa yang pantas dan apa yang tidak pantas, ia selalu saja menjawab dengan pedas, “Berapa banyak yang kau tahu?” Hal itu menyiratkan bahwa ia tahu lebih banyak daripada bhikkhu-bhikkhu lain. Dengan demikian, lama kelamaan semua bhikkhu yang baik menjauhinya dan hanya bhikkhu-bhikkhu yang tidak baik berada di sekelilingnya.

Pada suatu hari Uposatha, ketika para bhikkhu mengulang ‘Peraturan Pokok’ bagi para bhikkhu (=Patimokkha), Kapila berkata, “Tidak ada apa yang dikatakan sebagai Sutta, Abidhamma, atau Vinaya. Tidak ada bedanya apakah kamu mempunyai kesempatan untuk mendengar Patimokkha atau tidak,” dan lain-lainnya. Kemudian ia meninggalkan para bhikkhu yang sedang berkumpul. Jadi, Kapila merupakan rintangan bagi pengembangan dan pertumbuhan Ajaran (Sasana).

Untuk perbuatan jahat ini, Kapila harus menderita di alam neraka (niraya) antara masa Buddha Kasapa dan Buddha Gotama. Setelah itu ia dilahirkan kembali sebagai seekor ikan di Sungai Aciravati. Ikan tersebut, seperti disebutkan di atas, mempunyai tubuh berwarna keemasan yang sangat indah, tetapi mulutnya berbau tidak enak yang sangat menusuk hidung.

Suatu hari, ikan tersebut ditangkap oleh beberapa nelayan dan karena sangat indah, mereka membawanya kepada Raja. Kemudian Raja membawa ikan tersebut kepada Sang Buddha. Ketika ikan itu membuka mulutnya, bau yang tidak enak dan sangat menusuk menyebar ke sekeliling. Raja bertanya kepada Sang Buddha, mengapa ikan seindah itu mempunyai bau yang sedemikian tidak enak dan menusuk hidung.

Kepada Raja dan para pengiringnya, Sang Buddha menjelaskan, “O Raja! Pada masa Buddha Kasapa, ada seorang bhikkhu yang sangat terpelajar, yang mengajarkan Dhamma pada lainnya. Karena perbuatan baik itu, ketika ia dilahirkan kembali pada kehidupan yang lain, meskipun sebagai seekor ikan, ia memiliki tubuh keemasan. Tetapi bhikkhu itu sangat serakah, sombong, dan memandang rendah orang lain; ia juga mengabaikan Peraturan Ke-bhikkhu-an (Vinaya), dan mencaci maki para bhikkhu yang lain. Karena perbuatan buruk ini, ia dilahirkan di alam neraka (niraya), dan sekarang, ia menjadi seekor ikan yang indah dengan mulut yang berbau busuk.”

Sang Buddha kemudian beralih kepada ikan itu dan bertanya apakah ia mengetahui ke mana ia akan dilahirkan kembali pada kehidupan yang akan datang. Ikan tersebut memberi isyarat bahwa ia akan masuk kembali ke alam neraka (niraya) dan ia dipenuhi dengan perasaan sangat sedih. Sebagai mana diperkirakan, pada saat kematiannya, ikan tersebut dilahirkan kembali di alam neraka (niraya), untuk menerima akibat perbuatan buruk lain.

Semua yang hadir mendengarkan kisah ikan tersebut menjadi terkejut. Pada mereka, Sang Buddha memberikan khotbah tentang manfaat mengkombinasikan antara belajar dengan praktek.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 334, 335, 336, dan 337 berikut ini :

Bila seseorang hidup lengah,
maka nafsu keinginan tumbuh,
seperti tanaman Maluwa yang menjalar.
Ia melompat dari satu kehidupan
ke kehidupan yang lain,
bagaikan kera yang senang mencari
buah-buahan di dalam hutan.

Dalam dunia ini,
siapapun yang dikuasai oleh
nafsu keinginan rendah dan beracun,
penderitaannya akan bertambah
seperti rumput Birana yang tumbuh dengan cepat
karena disirami dengan baik.

Tetapi barang siapa dapat mengatasi nafsu keinginan
yang beracun dan sukar dikalahkan itu,
maka kesedihan akan berlalu dari dalam dirinya,
seperti air yang jatuh dari daun teratai.

Kuberitahukan hal ini kepadamu:
Semoga engkau sekalian yang telah datang
berkumpul di sini memperoleh kesejahteraan!
Bongkarlah nafsu keinginanmu,
seperti orang mencabut akar rumput Birana yang harum.
Jangan biarkan Mara
menghancurkan dirimu berulang kali,
seperti arus sungai menghancurkan rumput ilalang
yang tumbuh di tepi.


VEGETARIAN

MEMILIH MENJADI VEGETARIAN.

Di saat kita menghindari kolesterol tinggi tiada lain pilihan jatuh kepada makanan tinggi serat rendah lemak. Itulah gaya hidup sehat dengan reiki terhadap makanan saat ini.Tentu saja banyak juga orang tidak menyantap daging setiap kali makan. Mereka lebih senang makan sayur dan buah sebagai ganti menu harian.

Boleh dikatakan menjadi vegetarian jika seseorang sudah tidak mau lagi mengkonsumsi daging sebagai menu harian. Tak ubahnya menyantap makanan biasa, bagi orang yang menjalani hidup sebagai vegetarian juga menjalani diet vegetarian. Dengan menjalankan diet vegetarian diharapkan kesehatan seseorang akan semakin baik tanpa dihantui kelebihan kolesterol setiap kali menyantap makanan.

Menurut gaya hidup sehat awet muda dalam artikelnya, ada dua keuntungan seseorang menjalankan diet vegetarian. Pertama banyak serat berarti menyehatkan saluran pencernaan selain mencegah kanker usus. Kedua, diet vegetarian cenderung rendah garam berarti terhindar dari darah tinggi.

Anda ingin tahu berapa banyak orang Amerika makan garam dapur sehari? Di negara sana rata-rata satu setengah sendok teh atau lebih dari 9 gram. Berarti sodium yang masuk sekitar 3.5 gram padahal kebutuhan tubuh hanya 1.2 gram saja atau paling banyak 2.5 gram. Asupan garam sebanyak itu termasuk yang biasa sehari-hari kita konsumsi.

Ini berarti pola makan model orang barat sudah menjadi budaya makan kita? Coba lihat di mall atau restoran cepat saji. Di sana tersedia menu siap saji, junk food dan makanan olahan pabrik yang cenderung kelebihan garam. Karena itu tidak heran kalau penderita darah tinggi di jaman sekarang ini cenderung meningkat khususnya yang biasa menyantap menu barat.

Makanan rendah lemak tinggi serat dengan cara lebih banyak mengkonsumsi sayur dan buah. Sayur dan buah untuk diet vegetarian bagi penderita diabetes.
Bukan berarti kita alergi terhadap menu orang barat. Boleh saja sekali-kali menyantap menu model barat asalkan tidak berlebihan. Sebaliknya dengan menjadi vegetarian menu mereka cenderung lebih rendah kadar garamnya. Selain itu mereka akan mengkonsumsi lebih banyak buah-buhanan dan sayur mayur.

Penelitian yang pernah dilakukan F.M Sacks dalam studi dengan diet baru rendah garam DASH ( Diet Approach to Stop Hypertension ) menunjukkan hasilnya dibandingkan hasil studi penelitian sebelumnya. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa darah tinggi orang modern naik disebabkan oleh kelebihan asupan sodiom dalam garam dapur.

Setelah menjadi vegetarian tekanan darah diukur . Hasilnya tekanan darah vegetarian lebih rendah daripada yang bukan vegetarian. Selain rendah sodium karena diet vegetarian mereka terhindar dari kemungkinan darah tinggi. Asupan protein dari sumber hewani juga berpengaruh terhadap kesehatan tulang.

Riset di universitas California pada ibu berusia 65 tahun ke atas memperlihatkan bahwa responden yang mengkonsumsi protein hewan lebih banyak dari protein nabati akan kehilangan masa tulang lebih besar. Akibat banyak kehilangan massa tulang maka berisiko patah tulang dan osteoporosis. Selain itu jumlah asupan protein hewani tidak berkolerasi dengan kepadatan tulang.

Diperkirakan wanita dengan asupan protein hewani tinggi, rata-rata tiga kali lebih sering mengalami patah tulang paha dibandingkan dengan yang protein hewaninya rendah. Kecukupan protein tetap penting. Namun memilih protein nabati dan membatasi protein hewani pada lanjut usia juga harus dianggap sama pentingnya. Untuk mereka yang berusia muda protein hewani dibutuhkan lebih banyak dibandingkan dengan protein nabati.

Kita cermati menu orang sekarang rata-rata terdiri dari daging, ikan, telur dan bahan makanan yang berasal dari produk susu. Selain cenderung kelebihan lemak, asupan sodium dari garam dapur menjadi penyebab meningkatnya tekanan darah. Padahal menu olahan yang sudah disimpan, diawetkan, ditambah macam-macam zat kimiawi selain kurang kandungan gizinya juga berbahaya bagi kesehatan.

Menu junk food sebagaimana lazim dikonsumsi warga kota besar sebetulnya tinggal ampas. Sebab isinya sebagian besar hanya gula, garam dan bumbu dengan hanya sedikit kandungan bahan gizi utamanya. Termasuk di sini bahaya zat pengawet dalam makanan yang perlu diperhitungkan.

Pembuluh darah orang Amerika sudah kena karat lemak (aterosklerosis) sejak usia muda mengingat menu lemaknya berlebihan sejak usia bayi karena minum susu sapi, makan burger, steak, sosis, es krim dan sejenisnya. Kita sebenarnya sudah terancam oleh bahan-bahan yang sebenarnya sudah terbukti berbahaya tapi masih juga dikonsumsi untuk jangka waktu lama bahkan sejak bayi. Karena sangat berbahaya bagi kesehatan maka menu vegetarian agaknya sudah waktunya kita pertimbangkan untuk beralih pada menu yang lebih arif menuju sehat, yakni lebih banyak sayur dan buah serta membatasi daging, telur dan susu.

Belajar dari suku-suku tertentu di dunia yang rata-rata berusia panjang ternyata menu mereka lebih banyak mengandung protein nabati ketimbang hewani. Hendaknya itu menyadarkan kita untuk memihak pada menu vegetarian sekali pun bukan menjadi vegetarian sejati. Cukup saja dengan makan ikan laut sebagai pengganti daging. Anggapan bahwa kurang makan daging membuat badan lemah cuma mitos belaka. Vegetarian yang berkecukupan semua zat gizinya tidak menjadi lemah daripada yang bukan vegetarian. Mereka bahkan relatif sehat.

Kalau sudah tahu manfaat menjadi vegetarian mengapa tidak memilih menjadi vegetarian? Bahwa menurut penelitian tubuh manusia sudah diprogam mampu bertahan hidup sampai usia 120 tahun tapi tidak semua orang mampu menempuhnya hingga usia itu. Selain memanjakan pola hidup salah yaitu makan rakus, banyak lemak, gula dan garam namun miskin sayur dan buah dalam menu harian, maka sudah waktunya kita beralih menuju hidup sehat dengan mencoba menjadi vegetarian.

Kamis, 13 Oktober 2011

PIKIRAN KOKOH

FILOSOFI HIDUP

Kadang kala penyebab kebahagiaan timbul namun sebab penderitaan banyak sekali. Tanpa adanya penderitaan tak mungkin ada pelepasan. Karena itu, wahai pikiran, engkau harus berdiri kokoh


LELUCON

Seorang wanita paruh baya memasuki salon sambil menggendong seorang anak. Setelah wanita itu selesai potong rambut, kini giliran anak tersebut.

"Tunggu sebentar ya?" kata wanita itu kepada si anak yang duduk di kursi salon, "Aku beli minuman sebentar."

Ketika anak itu selesai potong rambut, wanita itu belum juga kembali. "Mungkin ibumu lupa engkau masih di sini," kata seorang pegawai salon kepada anak tersebut.

"Dia bukan ibuku," jawabnya, "Aku bertemu dengannya di jalan, dan dia berkata padaku, 'Hai, Nak. Kau mau ke salon gratis?'"


TIPITAKA

Kisah Kapila dan Ikan

Pada masa Buddha Kasapa, ada seorang bhikkhu bernama Kapila yang sangat terpelajar dalam Kitab Suci (Pitaka). Karena sangat terpelajarnya, ia memperoleh kemasyuran dan keberuntungan. Ia juga menjadi sangat sombong dan memandang rendah bhikkhu-bhikkhu lain. Bila para bhikkhu lain menunjukkan padanya apa yang pantas dan apa yang tidak pantas, ia selalu saja menjawab dengan pedas, “Berapa banyak yang kau tahu?” Hal itu menyiratkan bahwa ia tahu lebih banyak daripada bhikkhu-bhikkhu lain. Dengan demikian, lama kelamaan semua bhikkhu yang baik menjauhinya dan hanya bhikkhu-bhikkhu yang tidak baik berada di sekelilingnya.

Pada suatu hari Uposatha, ketika para bhikkhu mengulang ‘Peraturan Pokok’ bagi para bhikkhu (=Patimokkha), Kapila berkata, “Tidak ada apa yang dikatakan sebagai Sutta, Abidhamma, atau Vinaya. Tidak ada bedanya apakah kamu mempunyai kesempatan untuk mendengar Patimokkha atau tidak,” dan lain-lainnya. Kemudian ia meninggalkan para bhikkhu yang sedang berkumpul. Jadi, Kapila merupakan rintangan bagi pengembangan dan pertumbuhan Ajaran (Sasana).

Untuk perbuatan jahat ini, Kapila harus menderita di alam neraka (niraya) antara masa Buddha Kasapa dan Buddha Gotama. Setelah itu ia dilahirkan kembali sebagai seekor ikan di Sungai Aciravati. Ikan tersebut, seperti disebutkan di atas, mempunyai tubuh berwarna keemasan yang sangat indah, tetapi mulutnya berbau tidak enak yang sangat menusuk hidung.

Suatu hari, ikan tersebut ditangkap oleh beberapa nelayan dan karena sangat indah, mereka membawanya kepada Raja. Kemudian Raja membawa ikan tersebut kepada Sang Buddha. Ketika ikan itu membuka mulutnya, bau yang tidak enak dan sangat menusuk menyebar ke sekeliling. Raja bertanya kepada Sang Buddha, mengapa ikan seindah itu mempunyai bau yang sedemikian tidak enak dan menusuk hidung.

Kepada Raja dan para pengiringnya, Sang Buddha menjelaskan, “O Raja! Pada masa Buddha Kasapa, ada seorang bhikkhu yang sangat terpelajar, yang mengajarkan Dhamma pada lainnya. Karena perbuatan baik itu, ketika ia dilahirkan kembali pada kehidupan yang lain, meskipun sebagai seekor ikan, ia memiliki tubuh keemasan. Tetapi bhikkhu itu sangat serakah, sombong, dan memandang rendah orang lain; ia juga mengabaikan Peraturan Ke-bhikkhu-an (Vinaya), dan mencaci maki para bhikkhu yang lain. Karena perbuatan buruk ini, ia dilahirkan di alam neraka (niraya), dan sekarang, ia menjadi seekor ikan yang indah dengan mulut yang berbau busuk.”

Sang Buddha kemudian beralih kepada ikan itu dan bertanya apakah ia mengetahui ke mana ia akan dilahirkan kembali pada kehidupan yang akan datang. Ikan tersebut memberi isyarat bahwa ia akan masuk kembali ke alam neraka (niraya) dan ia dipenuhi dengan perasaan sangat sedih. Sebagai mana diperkirakan, pada saat kematiannya, ikan tersebut dilahirkan kembali di alam neraka (niraya), untuk menerima akibat perbuatan buruk lain.

Semua yang hadir mendengarkan kisah ikan tersebut menjadi terkejut. Pada mereka, Sang Buddha memberikan khotbah tentang manfaat mengkombinasikan antara belajar dengan praktek.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 334, 335, 336, dan 337 berikut ini :

Bila seseorang hidup lengah,
maka nafsu keinginan tumbuh,
seperti tanaman Maluwa yang menjalar.
Ia melompat dari satu kehidupan
ke kehidupan yang lain,
bagaikan kera yang senang mencari
buah-buahan di dalam hutan.

Dalam dunia ini,
siapapun yang dikuasai oleh
nafsu keinginan rendah dan beracun,
penderitaannya akan bertambah
seperti rumput Birana yang tumbuh dengan cepat
karena disirami dengan baik.

Tetapi barang siapa dapat mengatasi nafsu keinginan
yang beracun dan sukar dikalahkan itu,
maka kesedihan akan berlalu dari dalam dirinya,
seperti air yang jatuh dari daun teratai.

Kuberitahukan hal ini kepadamu:
Semoga engkau sekalian yang telah datang
berkumpul di sini memperoleh kesejahteraan!
Bongkarlah nafsu keinginanmu,
seperti orang mencabut akar rumput Birana yang harum.
Jangan biarkan Mara
menghancurkan dirimu berulang kali,
seperti arus sungai menghancurkan rumput ilalang
yang tumbuh di tepi.


VEGETARIAN

Ajaran Buddha sebenarnya tidak mengecam ataupun menganjurkan praktik vegetarian. Di dalam sutta-sutta, Sang Buddha tidak mengatakan bahwa praktik vegetarian adalah benar atau salah. Di dalam ajaran Buddha, seseorang bebas untuk memilih apa yang akan mereka jadikan makanan, baik itu sayuran maupun daging. Menkonsumsi makanan penting sekedar untuk bertahan hidup dalam jangka waktu lama. Mengenai hal ini Sang Buddha pernah berkata, "Semua makhluk hidup bertopang pada makanan".

Sebelum munculnya ajaran Buddha, ada banyak brahmana dan pertapa yang percaya bahwa kesucian hanya dapat tercapai dengan jalan mengatur dengan ketat apa yang mereka makan. Berdasarkan pandangan itu mereka hanya makan nasi dan sayuran dalam jumlah yang sangat sedikit. Bahkan sering kali mereka tidak makan apa pun. Mereka percaya bahwa dengan cara ini, yang semacam penyiksaan diri, kesucian dapat tercapai. Sang Buddha menolak konsep penyucian diri dengan jalan semacam itu.

Sang Buddha tidak menganggap bahwa vegetarian merupakan praktik moralitas. Bahkan praktik vegetarian sama sekali bukan bagian dari moralitas (sila) yang merupakan salah satu faktor dari Jalan Mulia Beruas Delapan.

Sang Buddha menganjurkan kepada semua murid-Nya untuk mempraktikkan Dhutanga. Dhutanga secara harfiah diartikan sebagai latihan untuk menghancurkan kekotoran batin. Praktik vegetarian tidaklah termasuk dalam faktor dhutanga, yang berarti bukan merupakan faktor penting untuk mengakhiri penderitaan. Oleh karenanya, Sang Buddha tidak mendorong para murid-Nya untuk menjadi vegetarian. Tetapi Beliau menyarankan mereka untuk bersikap terkendali dalam hal makan.

Pada masa kehidupan Sang Buddha, dalam Kanon Pali (Pacittiya Pali, Vinaya Pitaka) disebutkan bahwa ada lima jenis makanan yang biasa disajikan sebagai menu sehari-hari dan juga biasa didanakan kepada para bhikkhu, yaitu nasi, bubur beras, terigu rebus, ikan, dan daging. Selain dari lima jenis makanan di atas, disebutkan pula sembilan jenis makanan yang lebih istimewa, yaitu makanan yang dicampur dengan mentega cair, mentega segar, minyak, madu, sirup gula, ikan, daging, susu, dan dadih.

Sembilan jenis makanan tersebut umumnya ditemukan di kalangan keluarga kaya dan mereka juga mendanakannya kepada para bhikkhu. Para bhikkhu diperbolehkan menerima makanan itu bila didanakan oleh para umat awam, namun mereka akan dikatakan melanggar vinaya jika dengan sengaja meminta makanan tersebut kepada umat, tanpa disertai alasan tertentu, yaitu ketika mereka sedang sakit.

Dari hal-hal di atas dapat diketahui bahwa ikan dan daging sudah biasa dikonsumsi sejak masa hidup Sang Buddha. Sang Buddha dan para murid-Nya hanya makan dari hasil pindapatta. Sang Buddha sendiri memakan daging dan memperkenankan para murid-Nya berlaku serupa, dengan catatan bahwa daging tersebut tidak khusus disediakan atau dibunuh untuk Beliau dan para bhikkhu.

Sebagai pendukung, ada beberapa contoh yang membuktikan bahwa daging sudah biasa dikonsumsi sebelumnya dan Kanon Pali menyebutkan bahwa ada beberapa macam daging yang didapati dalam mangkok (patta) Sang Buddha.

Pada suatu ketika, di sebuah hutan, segerombolan perampok membunuh seekor sapi untuk dimakan. Pada saat yang sama, di hutan itu seorang bhikkhuni arahat bernama Uppalavamna sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Ketika melihat bhikkhuni tersebut, kepala gerombolan perampok menganjurkan anak buahnya untuk tidak mengganggu. Dia sendiri menggantungkan sepotong daging sapi di cabang pohon, mempersembahkannya kepada bhikkhuni ini, dan berlalu. Bhikkhuni Uppalavamna kemudian mengambil potongan daging tersebut dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha (Nissaggiyapacittiya Pali, Vinaya Pitaka).

Pada peristiwa lainnya, Sang Buddha dalam perjalanan menuju Kusinara (hari terakhir sebelum Sang Buddha Parinibbana). Cunda, perajin emas dari Pava, mempersembahkan makanan terhadap Sang Buddha, termasuk sukaramaddava di dalamnya. Sukaramaddava berarti daging babi berusia setahun yang dijual. Daging babi semacam ini lunak dan kaya gizi. Meskipun kata sukaramaddava ini ditafsirkan dalam banyak arti, namun arti seperti di atas didukung oleh Y.M. Buddhagosa, penulis kitab Komentar Mahaparinibbana Sutta, Digha Nikaya.

Di dalam bukunya Y.M. Buddhagosa menyebutkan penafsiran pengajar-pengajar lain tentang sukaramaddava. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah semacam susu beras atau puding beras susu; beberapa lagi menyebutkan bahwa itu adalah semacam obat penguat (tonik). Belakangan ini, beberapa pelajar vegetarian menyebutkan bahwa sukaramaddava adalah sejenis jamur.

Jadi kita mendapati adanya daging dalam mangkok Sang Buddha dan murid-Nya, tetapi Sang Buddha menganjurkan untuk menghindari memakan sepuluh jenis daging. Kesepuluh jenis daging tersebut adalah daging manusia, daging gajah, daging kuda, daging anjing, daging ular, daging singa, daging harimau, daging macan tutul, daging beruang, dan daging serigala atau hyena (Mahavagga Pali, Vinaya Pitaka).

Seorang Bhikkhu dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi sepuluh macam daging tersebut karena beberapa alasan yang secara ringkas tercantum di kitab Komentar Vinaya (Samattpasadika) seperti berikut ini. Daging manusia tidak seharusnya dimakan karena berasal dari spesies yang sama. Daging gajah dan kuda tidak seharusnya dimakan karena mereka adalah peliharaan dari seorang raja. Sedangkan daging anjing dan ular dikarenakan mereka termasuk jenis hewan yang menjijikkan, kelompok terakhir adalah singa, harimau, dan sebagainya, tidak seharusnya dimakan karena mereka tergolong binatang berbahaya dan jika dimakan bau daging binatang tersebut bisa membahayakan para bhikkhu yang bermeditasi di hutan.

Meskipun Sang Buddha mengizinkan para pengikut-Nya untuk menkonsumsi daging kecuali kesepuluh jenis di atas, Beliau memberlakukan tiga persyaratan, yaitu seorang bhikkhu tidak diperbolehkan menerima daging apabila:

1. Melihat secara langsung pada saat binatang tersebut dibunuh.
2. Mendengar secara langsung suara binatang tersebut pada saat dibunuh.
3. Mengetahui bahwa binatang tersebut dibunuh khusus untuk dirinya.

Karena Sang Buddha dan para murid-Nya bersikap non-vegetarian, tidak sedikit tokoh keagamaan lainnya yang mencela Sang Buddha. Sebagai contoh, suatu ketika kepala suku Vajji yang bernama Siha mengundang Sang Buddha dan murid-Nya untuk makan siang. Siha mempersembahkan nasi dan lauk, termasuk daging yang dibelinya di pasar. Sekelompok pertapa Jain mendengar bahwa Siha mempersembahkan nasi campur daging kepada Sang Buddha. Mereka mencela Sang Buddha maupun Siha, mereka memfitnah: "Siha, sang kepala suku, telah membunuh binatang besar untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada Sang Buddha, dan sekalipun Sang Buddha mengetahuinya, Ia tetap saja memakan daging tersebut (Siha-senaoati Sutta, Anguttara Nikaya).

Berdasarkan Jainisme, memakan daging adalah hal yang salah. Mereka berpandangan bahwa seseorang yang memakan daging akan mewarisi setengah karma buruk yang dibuat oleh si pembunuh hewan itu. Si pembunuh membunuh hewan karena si pemakan memakan daging. Sebelum menjadi pengikut Sang Buddha, Siha adalah pengikut Mahavira, pendiri Jainisme.

Suatu ketika, seorang tabib bernama Jivaka mengunjungi Sang Buddha dan memberitahukan tentang berita yang didengarnya. "Yang mulia, ada yang mengatakan bahwa beberapa bintang telah dibunuh untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada Pertapa Gotama. Pertapa Gotama menerimanya sekalipun mengetahui bahwa binatang itu khusus dibunuh untuk-Nya. Yang Mulia, mohon dijelaskan apakah yang mereka katakan itu benar atau tidak."

Sang Bhuddha menolak kebenaran berita tersebut dan menjelaskan, ''O Jivaka, barang siapa yang terlibat dalam pemotongan hewan untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada-Ku dan para murid-Ku, orang itu akan melakukan banyak kejahatan karena lima hal:

dengan tujuan berdana, orang itu memerintahkan agar seekor binatang dibawa untuk dibunuh; binatang itu mengalami kesakitan dan derita ketika ditarik dengan paksa; perintah untuk membunuh binatang itu; binatang itu mengalami kesakitan dan derita ketika dibunuh; ia menyulitkan Aku dan murid-murid-Ku dengan mempersembahkan makanan yang tidak sesuai untuk kami." (Jivaka Sutta, Majjima Nikaya)

Sang Buddha mengizinkan untuk mengkonsumsi daging asalkan bebas dari ketiga syarat di atas, karena memakan daging bukanlah perbuatan buruk, seperti halnya perbuatan membunuh makhluk hidup. Karena itu Sang Buddha menolak kepercayaan bahwa orang yang makan daging akan ikut mewarisi perbuatan buruk dari orang yang membunuh hewan.

Bhikkhu Devadatta, sepupu Sang Buddha, yang selalu menentang Sang Buddha, pada suatu ketika datang dan meminta Sang Buddha untuk tidak mengizinkan para bhikkhu mengkonsumsi daging dan ikan sepanjang hidup mereka, dan apabila hal itu dilanggar maka mereka dinyatakan bersalah. Dengan tegas Sang Buddha menolak permintaan Devadatta ini (Culavagga Pali, Vinaya Pitaka).

Sehubungan dengan konsumsi daging, Amagandha Sutta adalah sutta yang sangat penting. Sutta yang termasuk dalam Sutta Nipata, Khudaka Nikaya, ini untuk pertama kalinya dibabarkan oleh Buddha Kassapa dan kemudian dikatakan ulang oleh Buddha Gotama.

Pada suatu ketika, seorang pertapa yang menjalani vegetarian mendatangi Sang Buddha dan menanyakan apakah Sang Buddha memakan amagandha atau tidak. Sang Buddha bertanya kepada pertapa itu, "Apakah amagandha itu?", dan pertapa itu menjawab bahwa amagandha adalah semacam daging. Amagandha secara harfiah berarti bau daging, dalam hal ini berkonotasi sesuatu yang busuk, menjijikkan, dan kotor. Karena itulah pertapa ini memakai istilah amagandha.

Selanjutnya Sang Buddha menjelaskan bahwa sesungguhnya daging bukanlah amagandha, tetapi segala jenis kekotoran Batin dan semua bentuk perbuatan jahatlah yang semestinya disebut amagandha. Sang Buddha berkata:

Membunuh, menganiaya, memotong, mencuri, berdusta, menipu, kepura-puraan, berzinah, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging. Jika seorang tidak terkendali hawa nafsunya, serakah, melakukan tindakan yang tidak baik, berpandangan salah, tidak jujur, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging. Jika seseorang berlaku kasar dan kejam, suka memfitnah, pengkhianat, tanpa belas kasih, sombong, kikir, dan tidak pernah berdana, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging. Kemarahan, kesombongan, keras kepala, bermusuhan, munafik, dengki, tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, berhubungan dengan hal-hal yang tidak baik, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging. Jika seseorang bermoral buruk, menolak membayar hutang, pengumpat, penuh tipu daya, penuh dengan kepura-puraan, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.

Menurut ajaran Buddha, pemurnian dari kekotoran batin (kilesa) adalah hal yang sangat penting untuk mencapai Nibbana. Kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membersihkan pikiran, kemurnian pikiran hanya dapat dicapai melalui pengembangan kebajikan dalam diri masing-masing, yaitu melalui pengembangan moralitas (sila), konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan (panna). Kita tidak akan menjadi ternoda atau menjadi suci dengan makan daging atau sayuran.

Telah disebutkan di atas bahwa Sang Buddha tidak pernah menganjurkan para pengikut-Nya untuk menjadi vegetarian atau non-vegetarian, namun Beliau menyarankan mereka untuk bersikap terkendali dalam hal makan (bhojana mattannuta). Apa pun yang Anda konsumsi, baik daging maupun sayuran, Anda harus mengendalikan diri terhadap rasa dari makanan itu untuk mencegah timbulnya kemelekatan pada makanan tersebut (rasatanha).

Kemelekatan terhadap rasa dapat dikikis dengan jalan mengembangkan ketidakmelekatan terhadap makanan atau melalui perenungan tujuan makan (paccavekkhana).

Seorang bhikkhu seharusnya mengkonsumsi makanan bukan dengan tujuan kenikmatan, bukan untuk mendapatkan kekuatan khusus, bukan untuk mengembangkan bagian tubuh agar tampak menarik, dan bukan untuk mempercantik diri. Tetapi hendaknya sekedar demi kelangsungan hidup, memelihara kesehatan, dan memungkinkan mereka tetap bisa menjalankan kehidupan suci (Apannaka Sutta, Anguttara Nikaya).

Di dalam Puttamamsupama Sutta, Sang Buddha menjelaskan bagaimana seharusnya seorang bhikkhu merenungkan makanan mereka dengan mengibaratkan kabalikara sebagai daging anak sendiri. Semua jenis makanan, daging atau sayuran, disebut sebagai kabalikara.

Sang Buddha memberi perumpamaan, "Ada sepasang suami istri dengan satu-satunya anak bayi mereka sedang menempuh perjalanan jauh. Di tengah perjalanan mareka kehabisan bekal makanan dan tidak mampu meneruskan perjalanan tanpa makanan. Di tengah cekaman bayangan kematian karena kelaparan, gagasan buruk muncul dalam pikiran mereka. Akhirnya mereka sepakat untuk membunuh bayinya dan memakan dagingnya. Selanjutnya mereka meneruskan perjalanan dengan penuh kesedihan karena telah membunuh anak satu-satunya."

Setelah memberikan perumpamaan tersebut, Sang Buddha menjelaskan artinya melalui tanya-jawab, "O Bhikkhu, bagaimana pendapatmu? Apakah suami istri itu memakan daging bayi sendiri untuk tujuan kenikmatan (davaya), untuk mendapatkan kekuatan khusus (madaya), untuk mengembangkan bagian tubuh agar tampak menarik (mandanaya), atau untuk mempercantik diri (vibhusanaya)?" Para bhikkhu menjawab, "Tidak Yang Mulia. Mereka tidak akan memakan daging anaknya karena tujuan-tujuan itu." Sang Buddha bertanya lagi, "Apakah mereka makan hanya dengan tujuan agar dapat meneruskan perjalanan mereka?" "Benar, O Yang Mulia".

Menurut sutta di atas, hendaknya seseorang merenungkan makanannya seolah seperti daging anak sendiri. Dengan melakukan perenungan semacam ini seseorang bisa mengurangi kehausan atau kemelekatan terhadap rasa dari makanan.

Selanjutnya, mari kita bahas mengenai makanan ditinjau dari sudut pandang Empat Kesunyataan Mulia. Menurut ajaran Buddha, makanan termasuk materi, yang berkaitan dengan Agregat materi (rupa khanda). Agregat materi adalah suatu jenis penderitaan. Karena itulah makanan juga subjek dari penderitaan. Ini salah satu hal yang harus dimengerti secara benar (parinneyya). Makanan bukanlah suatu hal yang harus dihancurkan (na pahatabba). Nafsu terhadap rasa yang ditimbulkan oleh makanan itu adalah sebab dari penderitaan (dukkhasamudaya). Sebab inilah yang harus dihancurkan (phatabba). Hilangnya nafsu terhadap rasa dari makanan adalah berakhirnya penderitaan (dukkhanirodha). Inilah yang harus dicapai (sacchikatabba). Merenungkan makanan secara benar agar bebas dari kemelekatan terhadap makanan adalah jalan menuju berakhirnya penderitaan (dukkha nirodha gamini patipada). Inilah yang seharusnya dikembangkan dalam diri masing-masing (bhavetabba).

Menurut ajaran Buddha, berakhirnya penderitaan adalah hal yang paling penting. Hal ini hanya bisa tercapai dengan jalan melenyapkan hawa nafsu atau kehausan (tanha). Oleh karenanya, Anda harus berupaya untuk mencabut akar dari kehausan, kemelekatan terhadap rasa yang ditimbulkan oleh apa pun yang kita makan untuk mencapai akhir dari penderitaan. Nibbana adalah tujuan akhirnya. Anda bebas menjadi vegetarian ataupun non-vegetarian. Tetapi hal penting yang harus Anda upayakan adalah melatih diri untuk menghilangkan kemelekatan terhadap rasa dari makanan yang Anda makan sehari-hari.